Info islamiah
Larangan Berkata
“Seandainya…”
Oleh
Ustadz Abu Haidar as Sundawi
Ustadz Abu Haidar as Sundawi
Salah satu di antara sekian banyak penyimpangan yang dilakukan oleh
lisan adalah mengatakan “seandainya” yang digunakan untuk menggugat taqdir atau
syariat, atau untuk mengungkapkan kerugian (rasa sial) dan penyesalan terhadap
apa yang sudah terjadi. Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا
… Mereka (orang-orang munafik) berkata: “Seandainya kita memiliki (hak
campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan)
di sini”… [Ali Imran : 154].
Ungkapan orang-orang munafik dalam firman Allah ini, adalah ungkapan
“seandainya”, yang bermaksud untuk menggugat syari’at.
Asbabun nuzul ayat ini adalah, peristiwa yang diceritakan oleh ‘Abdullah
bin Zubair pada waktu perang Uhud, dia berkata : Zubair mengatakan : “Aku
melihat diriku bersama-sama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
kami ditimpa rasa takut yang amat sangat, lalu Allah memberi rasa ngantuk
kepada kami. Tak ada seorangpun di antara kami, kecuali merasakan ketakutan ini
pada hati mereka,” Zubair berkata lagi : “Lalu, demi Allah, aku mendengar
ucapan Muattib bin Qusyair. Aku tidak mendengarnya, kecuali seperti mimpi.
Muattib mengatakan,’Seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan
ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini’.”
Aku menghafalkan ucapan ini, lalu Allah menurunkan ayat ”Mereka berkata
‘ seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita
tidak akan terbunuh disini”. Lalu Allah menjawab :
قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَىٰ مَضَاجِعِهِمْ
Katakan (wahai Muhammad) : “Seandainya kalian berada di rumah-rumah
kalian, maka pasti akan keluarlah orang-orang yang telah ditetapkan mati untuk
menuju ke tempat kematian mereka”.
Jadi kematian ini adalah taqdir yang sudah ditetapkan oleh Allah Azza wa
Jalla, sebagai ketetapan yang pasti dan tidak bisa dihindari.[1]
Perkataan mereka yang menyatakan “seandainya kita memiliki hak campur
tangan dalam urusan ini …,” dan seterusnya, merupakan ungkapan yang bersifat
gugatan terhadap syariat. Karenanya, mereka mencela Rasulullah ketika
beliau menetapkan harus keluar dari Madinah untuk menyongsong musuh di
bukit Uhud tanpa persetujuan mereka. Mungkin juga, ini termasuk gugatan
terhadap taqdir. Maksud perkataan mereka “seandainya kami memiliki strategi dan
pendapat yang bagus, maka kita tidak akan keluar dan tidak akan terbunuh”. [2]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada ayat yang lain :
الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا
Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudara mereka, dan mereka tidak
ikut berperang : “Seandainya mereka megikutii kita, maka mereka tidak akan
terbunuh”. [Ali Imran : 168].
Imam Ibnu Katsir, ketika menjelaskan ayat ini menyatakan, bahwa maksud
perkataan mereka adalah, seandainya mereka (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya) mendengar pendapat kami agar tetap tinggal dan
tidak keluar dari Madinah, maka mereka tidak akan terbunuh bersama orang-orang
yang sudah gugur. Maka Allah menjawab :
قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
Katakanlah olehmu : “Tolaklah kematian dari diri-diri kalian bila kalian
orang-orang yang benar”. [Ali Imran : 168].
Maksudnya, apabila dengan tetap tinggal di tempat bisa menyelamatkan
seseorang dari kematian, maka pasti kalian tidak akan mati. Padahal, kematian
pasti datang kepada kalian, sekalipun kalian berada di balik peti besi yang
kuat. Maka hindarilah kematian dari diri kalian, kalau kalian orang-orang yang
benar.
Kata Mujahid, dari Jabir bin ‘Abdullah, ayat ini turun tentang ‘Abdullah
bin Ubay dan dedengkotnya. Artinya, dialah yang menyatakan perkataan ini. [3]
Syaikhul Islam mengatakan ketika menerangkan tentang apa yang terjadi
pada diri ‘Abdullah bin Ubay, bahwa ketika ia menyendiri pada waktu perang
Uhud, ia berkata : “Dia (Muhammad) meninggalkan pendapatku dan mengambil
pendapat anak-anak?” Lalu bergabunglah sekelompok besar orang-orang. Mereka
belum menjadi munafik sebelum itu. [4]
Perkataan ini diucapkan pada waktu perang Uhud, yaitu ketika ‘Abdullah
bin Ubay mengundurkan diri di tengah jalan dengan membawa sepertiga dari jumlah
pasukan yang sedang menuju Uhud. Ketika sejumlah 70 orang kaum Muslimin gugur
sebagai syahid pada perang itu, maka orang-orang munafik mengritik ketetapan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan : “Seandainya
mereka mengikuti kita dan kembali pulang sebagaimana kita, maka mereka tidak
akan terbunuh. Maka ketetapan kita lebih baik daripada ketetapan Muhammad”.
Perkataan ini haram, bahkan bisa saja sampai kepada tingkat kekufuran [5]. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَّوْ كَانُوا عِندَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menyerupai orang-orang
kafir dan berkata kepada saudara-saudara mereka apabila mereka bepergian di
muka bumi atau mereka pergi berperang : “Seandainya mereka bersama-sama kami,
maka mereka tidak akan mati dan tak akan terbunuh”. [Ali Imran : 156]. Ini
adalah bentuk gugatan terhadap taqdir.
Jadi, mengatakan “seandainya” dengan maksud untuk menggugat taqdir atau
menggugat syariat adalah terlarang. Demikian juga mengatakan “seandainya” untuk
mengungkapkan penyesalan dan kerugian tentang apa yang sudah terjadi, termasuk
hal yang diharamkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
…Bila kamu ditimpa suatu musibah, maka janganlah kamu mengatakan
“seandainya tadi aku melakukan ini dan ini, maka pasti akan terjadi
begini-begini,” akan tetapi katakanlah : “Ini adalah taqdir Allah
dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan.” Karena
perkataan “seandainya” bisa membuka amalan setan.[6]
Contohnya, apabila ada seseorang yang berminat membeli sesuatu yang
dikiranya akan memperoleh keuntungan, tetapi ternyata rugi, lalu dia mengatakan
: “Seandainya saya tidak membelinya, maka pasti saya tidak akan rugi”. Ini
adalah ungkapan penyesalan dan keluhan yang banyak dilakukan manusia. Yang
demikian ini terlarang.
Yang dimaksud musibah dalam hadits ini adalah, segala hal yang tidak
diinginkan dan tidak disukai, serta apa yang bisa menghalangi tercapainya
tujuan dari usaha yang sedang dilakukannya. Siapapun yang cita-citanya tidak
sesuai dengan apa yang telah Allah taqdirkan, sehingga tidak memperoleh apa
yang diinginkannya, maka dia tidak akan terlepas dari dua keadaan :
1. Dia akan mengatakan : “Seandainya tadi saya tidak melakukan ini, maka
tidak akan terjadi begini”, atau,
2. Dia akan mengatakan : “Seandainya saya tadi melakkukan ini, pasti akan terjadi begini”.
2. Dia akan mengatakan : “Seandainya saya tadi melakkukan ini, pasti akan terjadi begini”.
Contoh yang pertama adalah perkataan : “Seandainya saya tidak bepergian,
maka keuntungan tidak akan hilang”.
Contoh yang kedua adalah perkataan : “Seandainya saya pergi, pasti saya
akan untung”.
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan contoh
yang kedua dan bukan yang pertama, karena orang ini beramal dan dia mengatakan
: “Seandainya saya melakukan seperti pekerjaan si Fulan dan bukan perkerjaan
yang saya lakukan ini, maka pasti akan tercapailah keinginan saya”. Ini berbeda
dengan orang yang tidak melakukan, maka sikapnya akan pesimis.
Orang yang ditimpa musibah harus mengatakan : “Ini adalah taqdir
Allah, dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan,” maksudnya adalah,
bahwa yang terjadi ini merupakan taqdir Allah dan bukan tanggung jawab saya.
Adapun tanggung jawab saya, maka saya telah berusaha melakukan apa yang saya
lihat bermanfaat, yaitu sebagaimana yang diperintahkan kepada saya. Dan ini
adalah sikap taslim (pasrah) yang sempurna kepada ketentuan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Karena manusia, apabila telah melakukan apa yang diperintahkan sesuai
dengan syariat, maka dia tidak boleh dicela dan urusannya diserahkan kepada
Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan “amalan setan” dalam sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas adalah, apa yang dia bisikkan ke
dalam hati manusia berupa penyesalan dan kesedihan, karena setan amat menyukai
hal itu. Allah berfirman :
إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ
Sesungguhnya bisik-bisik itu hanyalah dari setan untuk membuat sedih
orang-orang yang beriman, dan dia tidak akan membahayakan sedikitpun, kecuali
dengan izin Allah. [al Mujadilah : 10].
Sehingga, dalam tidurpun setan senang memperlihatkan mimpi-mimpi menakutkan
untuk mengeruhkan kejernihan pikiran manusia dan mengganggu pikirannya. Dalam
keadaan seperti itu, manusia tidak akan bisa melaksanakan ibadah sebagaimana
mestinya. Oleh karena itu, kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang kita shalat, jika konsentrasi pikiran kita terganggu. Di
antaranya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada shalat
dengan kehadiran makanan dan dalam keadaan dia sedang menahan dua desakan”. [7]
Bila seseorang ridha menjadikan Allah sebagai Tuhannya, sehingga segala
yang terjadi ia terima sebagai ketetapan Allah dan taqdirNya, maka hatinya akan
tenang, dan lapanglah dadanya.[8]
Dilarangnya ucapan “seandainya”, karena di dalamnya tersirat ada
penyesalan terhadap apa yang luput dari genggaman, dan menyiratkan celaan
terhadap taqdir yang bisa memupus sikap sabar dan ridha. Padahal sabar adalah
wajib, dan iman kepada taqdir adalah fardhu. Allah berfirman :
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Tidak ada musibah yang terjadi di muka bumi atau yang menimpa diri-diri kalian
kecuali sudah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. Agar
kalian tidak putus asa dari apa yang tidak kalian dapatkan dan tidak bangga
dengan apa yang Allah berikan kepada kalian. Dan Allah tidak mencintai setiap
orang yang sombong dan membanggakan diri. [al Hadid : 22-23].
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Kedudukan sabar
dalam iman adalah, seperti kedudukan kepala dalam jasad”.[9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya
manusia tidak diperintah untuk melihat kepada taqdir manakala (ia) diperintah
untuk mengerjakan suatu amalan. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk menyadari
taqdir ketika dia mengalami musibah yang tidak bisa dicegah. Oleh karenanya,
apabila ditimpa musibah yang disebabkan perbuatan manusia atau bukan karena
perbuatan mereka, maka bersabarlah menerima hal itu, dan relalah serta
pasrahlah. Allah berfirman :
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
Tidak ada musibah yang menimpa kecuali terjadi atas izin Allah, dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka Allah akan memberi petunjuk ke
dalam hatinya. [at Taghabun : 11].
Oleh karena itu Adam mengatakan kepada Musa :
أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً
Apakah engkau akan mencelaku atas perkara yang telah ditaqdirkan Allah
untukku 40 tahun sebelum aku diciptakan? [10]
Adam berhujjah kepada Musa karena Musa berkata kepadanya : “Mengapa
engkau keluarkan kami dan dirimu dari Surga?”
Musa mencela Adam atas musibah yang dialami karena sebab perbuatannya,
bukan karena dosanya. Adapun celaan itu karena sebab dosanya – seperti yang
banyak diduga oleh sebagian orang – maka hadits itu tidak bermaksud demikian,
karena Adam Alaihissallam telah bertobat dari dosanya dan orang yang bertaubat
dari dosanya bagaikan orang yang tak berdosa, sehingga tidak boleh mencela
orang yang sudah bertaubat berdasarkan kesepakatan ulama.[11]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya ini termasuk
beralasan dengan taqdir karena musibahnya, dan bukan karena dosanya. Sehingga
Musa tidak berhujjah kepada Adam atas kemaksiatan yang menjadi penyebab
keluarnya dari surga, tapi (Musa) berhujjah atas keluarnya itu sendiri.
Maknanya adalah, perbuatanmu itu menjadi penyebab keluarnya kita dari Surga.
Sebab Musa Alaihissallam sangat tidak mungkin mencela bapaknya yang telah
bertaubat atas dosanya tersebut, dan telah dipilih serta telah diberi petunjuk
Allah Azza wa Jalla. Penjelasan ini sesuai dengan maksud hadits.
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah memberi penjelasan lain ketika
menerangkan hadits ini, yaitu bahwa Adam berhujjah dengan taqdir setelah
peristiwa itu berlalu dan setelah taubat dari perbuatannya. Tidak seperti
orang-orang yang berhujjah atas kemaksiatan agar bisa terus-menerus
melakukannya. Orang-orang musyrik berkata :
لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا
Seandainya Allah menghendaki, maka kami tidak akan berbuat musyrik dan
juga bapak-bapak kami –al An’am ayat 148- maka Allah mendustakan perkataan
tersebut, karena mereka tidak berhujjah atas sesuatu yang sudah terjadi,
kemudian mereka mengatakan “kami bertaubat kepada Allah”, tetapi mereka
berhujjah untuk tetap berada dalam kesyirikan. Sehingga mengatakan “seandainya”
untuk beralasan dengan taqdir agar bisa tetap berbuat maksiat, maka perkataan
seperti ini adalah batil. Demikian juga ucapan orang-orang musyrik
وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَٰنُ مَا عَبَدْنَاهُم
Seandainya Allah Yang Maha Rahman menghendaki maka kami tidak akan
menyembah berhala -QS az Zukhruf ayat 20- maka perkataan ini adalah batil.
Hadits inipun menjelaskan, setan mempunyai pengaruh pada diri manusia
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya : “karena
perkataan seandainya itu bisa membuka amalan setan”. Dalam hadits lain, Nabi n
bersabda :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ
Sesungguhnya setan menjalar pada diri manusia laksana aliran darah.[13]
Sebagian ulama mengatakan, hadits ini bermakna perasaan was-was yang
ditiupkan setan ke dalam hati manusia, menjalar bagaikan aliran di pembuluh
darah.
Zhahir teks hadits ini menunjukkan, setan itu sendirilah yang menjalar
dalam tubuh manusia bagai aliran darah. Bagi Allah Azza wa Jalla yang memiliki
kekuasaan, maka hal ini tidak mustahil, sebagaimana ruh, juga menjalar pada
aliran darah, yaitu jasad. Apabila ruh itu dicabut, maka dia akan dikafani dan
diberi balsem serta diangkat ke langit oleh malaikat.
PERKATAAN “SEANDAINYA” YANG DIPERBOLEHKAN
Tidak semua perkataan “seandainya” itu dilarang. Ada beberapa perkataan “seandainya” dalam konteks tertentu yang dibolehkan. Misalnya, mengatakan “seandainya” dalam mengungkapkan harapan. Hukum boleh atau tidaknya, tergantung jenis harapannya. Apabila harapannya baik, maka boleh. Sebaliknya, apabila harapannya jelek, maka hal itu terlarang.
Tidak semua perkataan “seandainya” itu dilarang. Ada beberapa perkataan “seandainya” dalam konteks tertentu yang dibolehkan. Misalnya, mengatakan “seandainya” dalam mengungkapkan harapan. Hukum boleh atau tidaknya, tergantung jenis harapannya. Apabila harapannya baik, maka boleh. Sebaliknya, apabila harapannya jelek, maka hal itu terlarang.
Dalam suatu hadits shahih, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang kisah empat orang, yang salah satu di antara mereka mengatakan :
“Seandainya aku mempunyai harta, maka pasti aku akan beramal seperti
amalan si Fulan (yang beramal shalih dengan hartanya)”. Ini adalah harapan
kebaikan.
Orang kedua mengatakan : “Seandainya aku memiliki harta, pasti aku akan
beramal sebagaimana amalan si Fulan (yang beramal jelek dengan hartanya)”. Ini
adalah harapan kejelekan.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang orang yang
pertama : “Dia memperoleh pahala berdasarkan niatnya, dan pahala keduanya
sama”. Adapun tentang orang yang kedua, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata : “Dia mendapat dosa berdasarkan niatnya, dan dosa keduanya sama”.[14]
Boleh juga menggunakan kata “seandainya” sekedar untuk mengabarkan
sesuatu. Contohnya, seseorang mengatakan “seandainya saya menghadiri pelajaran,
maka pasti saya akan mengambil faidah dari pelajaran itu”. Di antara dalilnya
adalah, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَحَلَلْتُ مَعَ النَّاسِ حِينَ حَلُّوا
Seandainya aku tahu sebelum ihramku apa yang aku tahu sesudahnya, maka
aku tidak akan membawa binatang kurban dan aku akan bertahallul bersama kalian.[15]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, seandainya beliau
mengetahui bahwa hal tersebut akan terjadi di kalangan sahabat, maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membawa binatang qurban dan pasti akan
bertahalul. Sebagian ulama mengatakan, bahwa ini termasuk angan-angan,
seakan-akan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “sayang sekali,
seandainya aku mengetahui urusan yang sebelumnya tidak tahu, sehingga aku tidak
membawa binatang qurban,” akan tetapi, yang nampak adalah, beliau mengabarkan
tentang apa yang dilihatnya dari para sahabat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengangan-angankan sesuatu yang berseberangan dengan taqdir Allah.[16]
Tentang perkataan “seandainya” yang dimaksudkan untuk mengabarkan, maka
hal ini harus dirinci. Kalau kabar yang diberitakan itu benar sesuai dengan
kenyataan, maka tidak mengapa. Tetapi, bila maksud perkataan ini bersandar
kepada apa yang menjadi penyebab, maka dalam hal ini ada tiga keadaan :
1. Bila sebabnya samar yang tidak punya pengaruh apa-apa, seperti
mengatakan “bila bukan karena Wali Fulan, maka tidak akan terjadi begini”.
Perkataan seperti ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena dengan
ucapannya ini, dia meyakini bahwa wali Fulan memiliki kemampuan untuk berbuat
di alam ini, padahal ia sudah mati.
2. Disandarkan kepada sebab yang benar, ditetapkan berdasarkan syar’i
atau empiris. Demikian ini hukumnya boleh, dengan syarat tidak meyakini bahwa
sebab itulah yang berpengaruh langsung, dan tidak melupakan penyebab utamanya,
yaitu Allah. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pamannya (Abu Thalib), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Seandainya bukan karena aku, maka dia (Abu Thalib) pasti berada di kerak
neraka”. [17]
Tidak diragukan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia
yang paling jauh dari kesyirikan, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
paling bersih tauhidnya kepada Allah Azza wa Jalla, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyandarkan sesuatu kepada sebab, tetapi ini sesuai dengan
syari’at secara hakiki, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diizinkan
memberi syafa’at kepada pamannya untuk diringankan siksanya, sehingga di neraka
nanti, pamannya mendapat siksaan yang paling ringan. Abu Thalid diberi dua
sandal yang membuat otaknya mendidih.
3. Disandarkan kepada sebab yang nyata, akan tetapi tidak jelas
keterkaitan sebabnya, baik secara empiris ataupun secara syar’i. Ini termasuk
syirik kecil.
Contohnya, kalung yang dianggap jimat, dan dikatakan jika kalung
dimaksud bisa mencegah pengaruh mata jahat (a’in) dan yang sejenisnya.
Penetapan yang demikian, yaitu adanya sebab yang tidak ditetapkan oleh Allah
sebagai sebab bagi hal tersebut, maka dia menganggap serikat bagi Allah dalam
menetapkan sebab.
Comments