Makna Pendidikan Dasar Pencinta Alam
MEMAKNAI PENDIDIKAN DASAR PECINTA ALAM
September 20, 2011
DIKSAR
PECINTA ALAM, sebuah kata yang tak asing didengar. Sebuah prosesi yang harus
dijalani bagi calon penerus baru organisasi penggiat alam. Suatu ritual yang
seakan menjadi momok menakutkan bagi mereka. Penuh tekanan, penuh persiapan,
penuh finansial, sarat akan kekerasan, dan terkadang tak sedikit jatuh korban.
Saya akan telaah sejenak, apakah benar demikian? Apa yang mendasari itu semua?
dan, Ada apa dibalik proses pendidikan yang selama ini tetap dipertahankan?
Suatu
ketika saya mendengar berita musibah pada suatu pendakian gunung, banyak
diantara mereka yang menjadi korban dan meninggal. Saya mencoba mencari tahu
lebih banyak berita sejenis, pada siapa dan mengapa kecelakaan ini terjadi?.
16 Santri Sempat Dikabarkan Hilang di Gunung
Salak. (poskota.co.id)
5 pendaki hilang di gunung singgalang (metrotvnews.com)
siswa smk hilang di puncak gunung Kawi (antarajatim.com)
pendaki asal bekasi meninggal (solopos.com)
mayat di gunung Pangrango di evakuasi (bataviase.co.id)
7 pendaki tewas di rinjani (youtube.com)
Begitulah
kejadian yang nyata didepan kita, apakah kita menutup mata jika nyawa seakan
sudah tak ada harganya. Siapa yang peduli? Siapa yang bertanggung jawab? Siapa
yang menelan pahit tercorengnya citra sebuah organisasi, lembaga, bahkan Negara
karena tak bisa memfasilitasi rakyatnya untuk sekedar menikmati alam?
Apa
kaitannya dengan pendidikan dasar pecinta alam?
Contoh
kecelakaan diatas bisa terjadi pada siapa saja. Orang yang professional
sekalipun punya resiko yang sama ketika ia menempatkan dirinya di alam bebas.
Kita tidak bisa memungkiri adanya kehendak Tuhan, namun yang bisa kita lakukan
adalah mengurangi resiko kemungkinan terjadinya kecelakaan tersebut dari sisi
manusia nya sendiri (human error). Menjadi sorotan utama apa saja yang
kita butuhkan, bukan hanya sekedar fisik dan ilmu. Memang keduanya begitu
sangat penting, namun bukan yang terpenting apabila keduanya berdiri
sendiri-sendiri. Banyak hal yang terjadi selama dilapangan, kombinasi dari
beberapa elemen yang kita miliki bisa menjadi solusi yang lebih baik.
Mungkin
tidak banyak yang tahu bahwa diksar tidak hanya mempersiapkan skill dalam
berkegiatan di Alam, namun juga sebagai tonggak awal berkembangnya mental dan
insting mereka. Akhirnya dari kombinasi itu mereka lebih percaya diri, lebih
mampu mengukur kemampuannya, dan peka terhadap sekelilingnya. Selalu
mempertimbangkan akal sehat dan bukan sekedar menuruti hawa nafsu. Bisa saya
katakan bahwa, lebih banyak kecelakaan terjadi (tersesat, hilang, dsb) bukan
karena lemah fisiknya, namun karena kurang rasa percaya diri, dan hilangnya
fungsi seorang pemimpin. Kondisi demikian berlanjut pada kacaunya komunikasi antar
anggota, ketidak percayaan pada pemimpin, rasa takut yang hebat, hingga
hilangnya semangat untuk mempertahankan hidup. Disini diksar memiliki peranan
yang amat penting sebelum seseorang melangkahkan kakinya di Alam bebas.
Apakah
diksar adalah pilihan satunya-satunya? Bagaimana dengan seseorang yang memiliki
pengalaman dan jam terbang yang tinggi haruskah juga melewati prosesi ini?
Saya
sangat setuju bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik, pengalaman dapat lebih
menunjukkan identitas dan karakter kita. Apalagi seseorang yang memiliki jam
terbang yang tinggi, secara tidak langsung ia telah mendorong dirinya untuk
cepat berkembang. Tidak heran bahwa nantinya akan tumbuh daya juang yang tinggi
dan respon tubuh yang baik saat kondisi yang tidak diinginkan. Diksar adalah
lompatan awal yang akan di follow-up lagi dengan banyaknya jam terbang. Namun
tidak mutlak harus dilalui jika ia mampu melompatinya dengan baik dan sama
berat porsinya.
Banyak
teman saya yang tidak memiliki background PA atau belum pernah melalui prosesi
diksar, namun bisa lebih mengkondisikan dirinya dalam berbagai situasi,
menghasilkan solusi yang brilliant, dan bisa diandalkan. Dan banyak juga teman
saya yang memiliki background PA hanya sebatas kebanggaan akan lencana yang ia
pakai, namun tidak bisa menolong dirinya dan bahkan menjadi benalu bagi yang
lain. Diksar adalah pintu pertama dalam sebuah kurikulum namun outputnya
tergantung dari isi dan orangnya masing-masing. Namun jika kita tidak tahu
apa-apa, mengikuti seluruh kurikulum dengan baik adalah jalan yang lebih aman.
Berikut
saya coba uraikan beberapa point yang ada dalam diksar pecinta alam:
- Pembentukan mental dan karakter yang kokoh
- Pembentukan sikap rendah diri dan peduli lingkungan
- Pembentukan kapasitas ilmu dalam berkegiatan di alam
- Pembentukan kesadaran akan rasa kesamaan, kebersamaan, dan kekeluargaan
- Membentuk pribadi yang bijak dan beradab
Beberapa
penggalan cerita dibawah ini sekiranya bisa menjabarkan point-point di atas.
Sebuah pengalaman pribadi yang saya alami ketika Pendidikan di beberapa
organisasi PA..
OTAK
YANG ADA DIANTARA PERUT DAN LUTUT
Sebuah
keyakinan bagi kita semua, bahwa seluruh manusia dilahirkan dalam keadaan
bodoh, lemah fisik dan juga akalnya. Semua kemajuan yang ada pada dirinya
berkembang setelah ia mau belajar, merasakan dan memahami apa yang
dibutuhkannya. Namun, terkadang kita tak menyadari, ada sesuatu yang teramat
penting yang sering kita lupakan seiring meningginya daya pikir manusia, yaitu
‘hati nurani’.
Sedikit
pelajaran berharga yang pernah saya dapatkan ketika diksar. Satu keadaan dimana
fisik seolah dikembalikan ketitik Nol, tanpa keangkuhan yang biasa merangkul
kita berdiri, dan mulut hanya mampu berbicara berdasarkan akal dan perasaan
saja. Ada satu pertanyaan panjang yang terlontar ketika itu dan berakhir,
“….Apa kamu pintar!!?”, sebuah pertanyaan yang teramat sederhana namun teramat
sulit untuk kujawab. Tak terhitung berapa kali otak ini berpikir hingga beban
dipunggung serasa pindah dikepala. Dua opsi yang ada, berkata Ya dengan nada
terendah atau Tidak! dengan suara lantang dan menerima akibatnya. Tampak jelas
terasa ketika tidak ada sesuatupun yang dapat membantu kita, itulah diri kita
sebenarnya. Diri kita yang tak berdaya dan hilang semangat ketika tak ada yang
menyanjung kita, tak ada teman yang biasa kita susahkan tanpa kita sadari,
tidak percaya diri, selalu bimbang jika kita merasa tak membutuhkan orang lain.
Pertanyaan
lain yang terlontar, “Ada dimana otakmu!!??”, ini bukan pertanyaan ilmiah, dan
sekarang saya baru sadar ini juga bukan jebakan. Sebuah analogi yang
merepresentasikan akal saat itu, bahkan membuat seseorang dibawah titik Nol dan
akan semakin memperjelas kapasitas orang tersebut. Kunci dari semua itu adalah
hati nurani, dimana hatimu berada ia harus terletak diatas akalmu, agar kita
tidak besar kepala, sombong dengan apa yang kita bisa. Dan akal tidak sampai
dibawah lutut karena ia adalah pangkal kebodohan, tidak ada artinya kebaikanmu
dituntun oleh kebodohan. Akalmu harus terletak diantara lutut dan hati/ perut!.
LAYAKNYA
TEMBIKAR IA TAKKAN HABIS DIBAKAR
Ada
satu cerita yang pernah saya baca di sebuah buletin Pasma54. Sebuah metafora
menggambarkan bahwa Diksar, Dikjut , pengembaraan, tak lain adalah sebuah
proses yang penting bahkan wajib ada dalam program pendidikan sebuah organisasi
penggiat alam. Cerita yang mengubah pandangan saya yang selama ini
bisikan-bisikan tetangga telah melembekkan diri saya. Mungkin tidak lazim untuk
mereka, karena mereka tidak membutuhkannya. Berbicara hanya pada satu sudut
pandang saja, tanpa tahu apa yang terjadi pada para penggiat yang
membutuhkannya.
Balada
Api dan Tanah Liat!!
Disuatu
malam ada sebuah desa yang terkena musibah kebakaran, tak berapa lama semuanya
terlahap api yang besar. Sangat tiba-tiba, sehingga penduduk pun tak sempat
menyelamatkan barang-barang berharganya, hanya nyawa yang bisa ia bawa. Hari
menjelang pagi dan api pun mulai padam. Banyak yang kembali untuk sekedar
melihat apa yang bisa mereka bawa dari sisa puing-puing rumah mereka. Semuanya
tampak abu, televisi, radio, pakaian, sepeda, semuanya tak luput oleh api. Ada
beberapa perabotan yang selamat, aneh beberapa bahkan ada yang masih mengkilap
dan utuh: Periuk dari tanah liat yang dibakar, guci, gelas dan piring beling,
vas bunga, asbak, celengan dan benda-benda yang terbuat dari keramik. (reoN:2005)
Apa
yang bisa kita ambil pelajaran dari sana? Jika kita diibaratkan seperti
tembikar atau puing-puing yang selamat, tentu kita akan mengalami proses yang
sama dengannya untuk bertahan dari musibah yang datang. Periuk dari tanah liat,
harganya murah, namun proses pembuatannya yang ditempa dan dibakar menjadikan
ia kuat dilahap api. Seorang tentara yang setiap harinya ditekan dan
digembleng, tak lain agar ia siap menghadapi ujian yang sesungguhnya. Dimana ia
bergantung pada potensi maksimalnya yang ia dapatkan pada saat latihan.
Begitupun seorang PA (Pecinta Alam), ketika mendaki gunung, memanjat tebing,
arung jeram, telusur goa, dan lainnya adalah kegiatan yang riskan dan penuh
resiko. Kita tak tahu bahaya apa yang mungkin bisa saja terjadi secara
tiba-tiba. Tidak hanya fisik dan keterampilan yang harus ia miliki namun juga
mental yang bisa ia bakar.
KETIKA
AIR MATA MENETES DIKULIT YANG PENUH DENGAN SAYATAN
“Telah
hilang semangat hidup, apabila kita berpikir untuk mati. Akan datang kekuatan
baru apabila kita berpikir untuk hidup dan berharap lebih jauh lagi”. Mungkin
kekuatan sugesti itulah yang masih menggerakkan tubuhku hingga klimaksnya.
Golok yang tak hentinya mengayun dan menghabiskan sendi-sendi tangan ini
bergetar dan beberapa kali lepas dari genggaman. Kaki-kaki yang tak lagi
kurasakan pijakannya bagaikan sabatang kayu keropos yang ditindih beban yang
tak masuk akal beratnya. Lelah, lelah sampai beberapa kali berhalusinasi,
itulah istirahatku yang cuma semu ditengah pijakan panjang yang terjal.
Hangatnya
sinar matahari, berharap untuk bisa menembus kulitku. Walaupun keringat akan
mengucur deras, nampaknya lebih baik daripada terlalu lama menggigil dibalut
pakaian basah. Jalan setapak dengan lumpur yang bergejolak menyiprati wajah dan
memendam sepatu boot ku, tak sebanding untuk tubuh yang hampir tumbang ini.
Hari masih siang namun diufuk telah redup cahayanya,mengisyaratkan dinginnya
malam nanti menjadi cobaan yang berat untuk dilewati. Malam dimana luapan
kecapaian bercampur aduk dengan harunya peristiwa memilukan.
Perasaan
sedih dan cemas melihat rekan yang terserang hipotermia hingga sebatang sendok
pun bengkok menahan rahangnya. Mereka yang sempat memuntahkan makanannya tak
kecewa walau tadi harus merangkak karena tak ada asupan tenaga. Beberapa orang
susah payah mengikat bivak walau jarinya telah kaku kedinginan. Sebuah
pemandangan yang teramat pilu dan menggetarkan hati, namun kelelahan dan
kepayahan telah dicerna dengan baik, sehingga hanya ada satu kata, “Kebersamaan”
apapun yang terjadi.
Ketika
air mata menetes di kulit yang penuh dengan sayatan, menjadi arti mahalnya
sebuah pengorbanan. Pengorbanan untuk membentuk satu keluarga diatas prinsip
kebersamaaan. Bertahan dari berbagai ujian yang datang, semuanya saling menyemangati,
saling interospeksi demi tujuan bersama. Hal seperti itulah yang dapat membuka
mata bagi orang yang paling egois sekalipun. Sesuatu yang menjadikan tubuh ini
seakan hidup kembali, hidup bukan untuk dirinya sendiri tapi juga orang lain.
Sebuah pelajaran yang berharga untuk diresapi dan akan diingat sepanjang hayat.
NILAI
YANG TAK TERNILAI HARGANYA
Kesamaan
dan kebersamaan adalah pondasi yang bisa mewujudkan tali persaudaraan. Tapi
apakah pangkal dari kesamaan? Takdir? mungkin pengorbanan lah yang lebih tepat,
karena begitu banyak karakter manusia yang takkan bisa disatukan tanpa ada
sebab musababnya. Logika akan sejalan dan mengalir dengan waktu dan perubahan
zaman, namun perasaan akan membimbing ketika ia melihat kepercayaan, dan
kadarnya sebanding dengan apa yang ia saksikan, pembuktian yang nyata sehingga
ia tak menempatkan logika diatas segala-galanya.
Edelweiss
yang tumbuh di puncak, mengakar keras dalam kebersamaan. Kesetiaannya akan
terus abadi walau badai menerjang dan sengatan matahari memudarkan warnanya. Ia
dibesarkan oleh perjuangan, tumbuh karena keyakinan dan kesetiaan, dan cobaan
lah yang akan membuktikannya. Tidak sedikit bibit-bibit lain yang iri padanya,
bahkan yang besar ingin sekali merampasnya. Bibit-bibit kecil ternyata tak lebih
berat perjuangannya, dan yang besar terlalu sombong tak membutuhkan yang lain.
Sepertinya edelweis tak perlu bersusah payah untuk menjaga keutuhannya dari
yang lain.
Perjuangan
dan pengorbanan yang sesungguhnya memiliki makna yang mendalam. Ia akan selalu
terpatri dalam hati, mengiringi dalam setiap langkah, dan menjadi batu loncatan
dalam memperbaiki diri. Sesuatu yang menjadikan seseorang bijak, tidak tampak
namun begitu mahal harganya. Amat mahal sehingga Ia takkan rela sesuatu itu
direnggut oleh orang lain.
PEKERJAAN
RUMAH YANG BERAT
Ada
seorang siswa yang menjadi peserta terbaik dalam sebuah pelatihan dasar
kepemimpinan yang diadakan sekolahnya. Tapi dia sama sekali tidak terpilih
menjadi ketua atau kandidat ketua atau bahkan menjadi anggota OSIS atau MPK
sekalipun. Ternyata ada perbedaan penilaian antara penyelenggara pelatihan
dengan panitia penyeleksi OSIS-MPK, itu mungkin kalau kita berpikir terlalu
positif. Namun itu tidak logis karena menurutnya seperti apa yang
digembar-gemborkan bahwa syarat menjadi anggota OSIS-MPK harus melalui tahap
pelatihan dasar kepemimpinan, otomatis penilaian mutlak dilihat dari hasil
proses tersebut. Bukan dari penilaian pendapat oleh sebagian panitia atau orang
yang berkepentingan didalamnya. Satu alasan yang mungkin, adalah karena peserta
terbaik itu adalah anggota organisasi Sispala. Diperkuat lagi dengan kenyataan
bahwa tak satupun anggota Sispala yang aktif lolos menjadi anggota OSIS-MPK.
Satu bukti bahwa kepercayaan guru atau orang-orang yang memegang jabatan tinggi
disekolah itu sangat jauh.
Ada
lagi seorang mahasiswa yang ingin sekali menjadi seorang penggiat alam. Sudah
lama waktu yang ia korbankan dan uang yang ia investasikan untuk bisa menjadi
seorang Mapala. Hingga suatu ketika ada proses yang dimana harus ia jalani dan
tiba-tiba saja memutuskan untuk hang-out dari acara tersebut bahkan dari
organisasi Mapala nya karena desakan Orang Tua. Banyak rumor yang beredar dari
mulut ke mulut, bahkan orang yang tidak mengerti membuat celotehan-celotehan
sendiri, “Mapala, makan gak makan asal nongkrong” “Mapala, mahasiswa paling
lama”, “Mapala, mahasiswa tak punya tata krama”, “Mapala, aliran keras diwadah
UKM”dan lain-lain. Menjadikan image tersebut menakutkan bagi orang tua, atau
mereka yang ingin masuk Mapala. Memang, menurut sebagian teman itu sebagai
salah satu seleksi alamiah bagi seorang anak mami, atau orang yang hanya
bergantung pada Ortu. Tapi anggapan-anggapan miring punya akibat lebih fatal
untuk keberlangsungan organisasi Mapala tersebut. Mulai dari dipersulitnya
pengesahan proposal sampai pada krisisnya regenerasi keanggotaan organisasi
Mapala.
Itu
hanya sebagian fakta dari banyaknya bentuk diskriminasi yang pernah saya lihat,
hingga akhirnya saya tergerak untuk menulisnya dan berharap agar kita semua mau
bercermin dan mengoreksi diri masing-masing. Pendidikan Mapala bukan hanya
sekedar program kerja, tapi lebih kepada tanggung-jawab dan kepedulian terhadap
generasi selanjutnya. Agar nantinya Ia lebih punya kapasitas, tidak dipandang
sebelah mata, dan menjadi kebanggaan organisasi, kampus atau sekolahnya.
Comments